Sekalipun Firman Tuhan menjabarkan dengan jelas bahwa di dalam dan melalui pernikahan pria dan wanita akan "menjadi satu daging"
(Kejadian 2:24), namun pada kenyataannya, mengejawantahkan kesatuan ini tidaklah mudah. Saya kira, salah satu sumber kesulitannya adalah pria dan wanita memiliki kualitas-kualitas yang berbeda. Masalahnya ialah, pria tidaklah selalu berhasil memahami wanita, demikian juga sebaliknya.Kejadian 1:27 memaparkan bahwa Tuhan memang menciptakan manusia, "laki-laki dan perempuan", dua jenis manusia, bukan satu. Di samping persamaan, juga terdapat perbedaan di antara pria dan wanita.
Pernikahan yang berciri, "satu daging", ditandai oleh kuatnya pemahaman dan penerimaan akan perbedaan-perbedaan ini.Khusus dalam edisi ini, saya membatasi ulasan saya pada satu kualitas pria saja. Mudah-mudahan informasi ini dapat membantu pria memahami dirinya secara lebih akurat dan menolong wanita, terutama istri, mengerti serta menerima para suami dengan penuh kasih sayang.
PADA dasarnya pria adalah makhluk yang angkuh. Sebelum para rekan pria menyanggahnya, terlebih dahulu saya akan menjelaskan alasan dan latar belakang pemikiran saya. Sejak kecil, lingkungan sudah mengkondisikan pria untuk menjadi seseorang yang tegar. Kehormatan seorang pria terletak pada kekuatan atau ketegarannya. Pria dididik untuk bisa mengatasi segala sesuatu sehingga tanpa disadarinya, ia pun mulai meyakini bahwa kehormatan dirinya bertumpu pada kemampuannya. Ketidaksanggupannya mengatasi tantangan diidentikkan dengan kelemahannya. Kegagalan merupakan suatu aib yang memalukan harga dirinya. Prinsip hidupnya dapat disarikan dalam satu kalimat, "Saya bisa melakukannya," Berlandaskan pandangan inilah saya mendasarkan pengamatan saya tadi tentang keangkuhan pria.Menurut saya, keangkuhan pria sangat berkaitan dengan kemampuannya, atau lebih tepat lagi, dengan keengganannya mengakui kekurangmampuannya.
DI DALAM pernikahan, keangkuhan pria biasanya mempengaruhi dua aspek kehidupan, yakni finansial dan seksual. Di dalam kedua hal ini pria berupaya keras agar ia mencapai puncak keberhasilan yang selayaknya. Kegagalannya atau perasaan bahwa ia telah gagal dalam kedua hal ini dapat membuatnya depresif. Kedua aspek kehidupan ini acap kali berperan sebagai tolok ukur harga dirinya. Tatkala ia merasa bahwa istrinya terpuaskan baik secara finansial maupun seksual, ia pun merasa bangga. Sebaliknya, ketidakpuasan istri dalam kedua areal kehidupan ini bisa mendorongnya menjadi minder. Alhasil, ia pun mulai meragukan kelaki-lakiannya atau lebih spesifik lagi, kemampuannya menjadi seorang laki-laki.
Di sinilah letak salah satu perbedaan antara pria dan wanita. Untuk menjadi seora
ng wanita, perempuan tidaklah perlu "menjadi" wanita karena secara alamiah (biologis) ia sudah wanita. Tidak demikian halnya dengan pria. Meski secara jasmani ia sudah pria, namun secara sosiologis dan psikologis ia perlu membuktikan dirinya terlebih dahulu sebelum ia memperoleh pengakuan bahwa ia adalah seorang pria. Pembuktian dirinya itu biasanya dialaskan atas keberhasilan dan kemampuannya. Pembuktian dirinya sebagai pria pada umumnya berkisar pada keberhasilannya dalam kedua hal tadi, yakni finansial dan seksual.
Kegagalannya memenuhi kebutuhan finansial dan seksual istrinya sesungguhnya melukai
kehormatan dirinya. Ada pria yang berhasil mengalahkan keangkuhannya dengan cara mengakui keadaan diri yang sebenarnya di hadapan istri terkasih. Namun tidak sedikit yang menempuh jalan belakang. Ada yang berkompensasi berubah menjadi kasar, seakan-akan ia tidak membutuhkan istrinya, ada yang menarik diri dan hidup bak pertapa di rumah tangganya sendiri.